Permainan gatheng adalah permainan yang menggunakan watu
(batu) sebagai alatnya. Batu tersebut disebut watu gatheng atau watu
cantheng. Permainan gatheng mirip dengan permainan bekelan, sehingga
banyak yang mengatakan permainan gatheng adalah permainan bekelan atau
sebaliknya. Tempat untuk bermain gatheng di halaman rumah, dalam rumah,
teras, atau pendapa.
Permainan gatheng merupakan permainan yang
mudah, murah, sederhana dan tidak memakan waktu yang lama. Permainan ini
bersifat kompetitif perorangan. Permainan ini menerapkan hukuman bagi yang
kalah namun ada yang tidak menerapkan hukuman. Gatheng memerlukan
kejujuran dan keterampilan para pemainnya.
Permainan ini sudah lama keberadaannya yaitu pada
jaman Mataram (XVII). Putra raja waktu itu yaitu Raden Rangga memiliki alat
bermain watu gatheng (batu gatheng) yang sangat besar. Batu gatheng
tersebut kini tersimpan baik di Kotagede, Yogyakarta. Batu gatheng
tersebut menunjukkan bahwa Raden Rangga adalah orang yang sakti. Kini permainan
gatheng di desa menggunakan batu, sedangkan di kota menggunakan bekel
dan kuningan.
Pemain gatheng berjumlah 2-5 orang anak.
Permainan tersebut bersifat perorangan. Gatheng pada mulanya dimainkan
oleh anak-anak perempuan, tapi sekarang dimainkan bersamaan antara anak
laki-laki dan perempuan. Batu gatheng ditentukan oleh kesepakatan
pemain. Ada lima, sepuluh, dan paling banyak adalah 20. Tempat permainan tidak
begitu luas, namun cukup bagi lima orang anak. Berikut ini adalah jalan
permainan gatheng dengan empat pemain:
a.
Masing-masing peserta membawa dadu sendiri-sendiri.
Dadu bisa dari batu yang diambil dari sekitar anak.
b.
Menyiapkan tempat serta kerikil sebanyak lima buah.
c.
Mengundi pemain pertama dengan hompipah.
d.
Pemain pertama menyebar lima buah kerikil ke arena
permaianan sambil melemparkan dadunya ke atas. Pemain menyebar biji tersebut
sampai biji tidak saling berdempetan.
e.
Kemudian pemain tersebut mengambil salah satu kerikil
sambil melemparkan dadunya.
f.
Apabila kerikil tersebut tidak dapat diambil, pemain
tidak boleh meneruskan bermain, mati. Begitu juga bila pemain tidak dapat
menangkap kembali dadu yang dilemparkan ke atas, maka pemain tidak boleh
meneruskan bermain digantikan oleh pemain lainnya.
g.
Pemain kedua tersebut mengambil salah satu kerikil
dari sambil melemparkan dadunya. Begitu seterusnya sampai kerikil habis
terambil.
h.
Setelah kerikil habis, pemain kedua dapat melanjutkan
level permainan gatheng yang disebut Garo. Garo adalah
mengambil dua kerikil secara bersamaan sambil melempar dadunya.
i.
Setelah Garo selesai, pemain kedua melanjutkan
dengan Galu. Galu adalah mengambil tiga kerikil secara bersamaan
sambil melempar dadunya.
j.
Setelah Galu selesai, pemain kedua melanjutkan
dengan Gapuk. Gapuk adalah mengambil empat kerikil yang telah
disusun sedemikian rupa bersamaan sambil melempar dadunya.
k.
Begitu seterusnya sampai jumlah kerikil habis diambil
bersamaan. Peraturan ini disepakati saat awal permainan. Ada yang hanya sampai Garo
atau Galu.
l.
Setelah tahapan permainan selesai, pemain kedua
tersebut mendapat sawah satu yang ditulis di tanah sekitar pemain kedua.
Permainan dilanjutkan oleh pemain ketiga mulai dari tahap awal. Sedangkan
apabila pemain pertama memainkan permainan, maka pemain tersebut meneruskan
permainan saat mati, tidak memulai dari awal.
m.
Nggenjeng boleh
dilakukan boleh tidak. Nggenjeng adalah hukuman bagi peserta yang paling
sedikit mendapat sawah. Peserta kalah duduk slonjor (duduk dengan kaki
lurus ke depan) dan mata tertutup. Kemudian pemain yang menang memukul
pelan-pelan (gethok atau nggethok) lutut kiri pemain yang slonjor
tadi dengan tangankirinya; sedangkan tangan kanannya menyembunyikan lima
kerikil yang digunakan untuk bermain pada tempat tertentu yang sulit dicari
oleh pemain yang kalah. Sewaktu memukul lutut, pemain yang mennyanyikan lagu
genjeng dengan syair sebagai berikut :
Genjeng-genjeng,
Debog bosok jambe wangen,
Mur murtigung mur murtigung,
Walang kadung dening cekung,
Rondhe-rondhe,
Pira satak pira lawe,
Salawe aja na badhe,
Picak jengkol pira kiye,
Cakuthu cakuthu,
Badhoganmu tahu basu,
Aku dhewe carang madu.
Sewaktu sampai pada kalimat carang madu, tangan kanan yang kebetulan
memegang kerikil diacungkan kepada yang kalah. Pemain yang kalah harus menebak
jumlah kerikil yang digenggam tadi. Bila tebakan tidak tepat, maka hukuman
dimulai dari para pemain lainnya diiringi dengann lagu yang sama. Apabila
tebakan sudah tepat, permainan dapat dimulai dari awal.
Di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
sampai saat ini permainan tradisional masih memiliki penggemar. Sekarang gatheng
dikenal dengan nama Bekelan. Alat permainan bekelan banyak dijual di toko
mainan, sedangkan gatheng yang sesungguhnya hanya menggunakan kerikil
yang dapat didapatkan di sekitar rumah.